Tiga puluh tujuh juta tahun silam di samudra prasejarah Tethys, seekor binatang sepanjang 15 meter yang gerakannya lentur dengan rahang mencangah, dan gigi gergaji mati dan tenggelam ke dasar laut. Lalu selama ribuan milenium selimut sedimen kian menebal, menutupi tulang-tulang si gergasi . Laut kemudian surut dan dasar laut berganti menjadi gurun pasir, angin mulai mengetam batu pasir dan serpihan batu di atas tulang-tulang tersebut. Perlahan dunia berubah. Pergeseran kerak bumi mendorong India ke dalam Asia, mendesak naik Pegunungan Himalaya. Di Afrika, nenek moyang pertama manusia menegakkan tubuh dan berjalan dengan kaki belakang mereka. Kemudian para firaun membangun piramida. Kekaisaran Romawi bangkit, lalu runtuh. Di sepanjang perjalanan waktu tersebut, angin melanjutkan penggaliannya yang sabar. Lalu pada suatu hari Philip Gingerich datang untuk menuntaskan pekerjaan sang angin.
Saat Matahari terbenam di suatu malam bulan November tahun silam, Gingerich yang ahli paleontologi vertebrata University of Michigan merebahkan badan di samping tulang punggung makhluk yang disebut Basilosaurus itu. Kami berada di satu lokasi di Wadi Hitan, sebuah gurun Mesir. Fosil gigi hiu, duri landak laut, dan tulang ikan lele raksasa berserakan di atas pasir di sekeliling Gingerich. “Aku menghabiskan begitu banyak waktu di antara makhluk-makhluk laut ini sehingga segera saja aku hidup di dunia mereka,” katanya sambil menyodok-nyodok satu ruas tulang belakang sebesar batang kayu dengan kuas. “Saat aku memandang gurun pasir ini, lautan yang kulihat.” Gingerich sedang mencari bagian penting dari anatomi makhluk itu, dan ia diburu waktu. Hari kian temaram, dia harus kembali ke perkemahan sebelum membuat rekan-rekannya khawatir. Wadi Hitan merupakan tempat yang indah, tetapi tak kenal ampun. Selain tulang-tulang monster laut prasejarah, Gingerich menemukan sisa jasad-jasad manusia yang naas.
Gingerich beringsut ke arah ekor tulang, memeriksa setiap ruas tulang punggung dengan gagang kuas. Lalu, dia berhenti dan meletakkan kuasnya. “Ini dia harta karunnya,” katanya. Sambil membersihkan pasir dengan jemarinya secara hati-hati, Gingerich menyingkap sebatang tulang ramping, panjangnya tak lebih dari 20 sentimeter. “Jarang-jarang kita bisa melihat kaki paus,” katanya sambil mengangkat tulang itu dengan kedua tangan secara takzim.
Basilosaurus jelas seekor paus, tetapi paus yang punya dua kaki belakang kecil yang mencuat dari panggulnya, masing-masing sebesar kaki anak perempuan tiga tahun. Kaki kecil nan elok itu—terbentuk sempurna meski tak berguna, setidaknya untuk berjalan—adalah petunjuk penting untuk memahami bagaimana paus modern yang telah begitu sukses beradaptasi sebagai mesin renang diturunkan dari mamalia darat yang pernah berjalan dengan empat kaki. Gingerich telah mengabdikan sebagian besar kariernya untuk menjelaskan metamorfosis yang boleh dibilang merupakan yang terbesar dalam dunia satwa. Dalam perjalanan itu, ia telah menunjukkan bahwa paus, yang dulu diagulkan kaum kreasionis sebagai bukti terbaik yang menentang evolusi, justru mungkin merupakan bukti evolusi yang paling elegan.
“Spesimen lengkap seperti Basilosaurus itu ibarat batu Rosetta,” kata Gingerich saat kami berkendara kembali ke perkemahan lapangannya. “Spesimen lengkap dapat mengungkap cara hidup suatu hewan jauh lebih banyak daripada jasad sepotong-sepotong.”
Wadi Hitan yang secara harfiah berarti “lembah paus” ternyata sangat kaya akan “mutiara” semacam itu. Selama 27 tahun terakhir, Gingerich dan rekan-rekannya telah menemukan sisa-sisa dari 1.000 ekor lebih paus di tempat tersebut dan masih banyak lagi yang menunggu untuk ditemukan. Saat kembali ke perkemahan, kami bertemu dengan beberapa anggota tim Gingerich yang juga baru pulang dari kerja lapangan mereka. Tak lama kemudian, kami membahas hasil kerja mereka sambil makan malam berupa daging kambing panggang, ful madammas (kacang dieng tumbuk), dan roti canai. Mohammed Sameh, kepala pengawas kawasan konservasi Wadi Hitan telah mencari paus lebih jauh ke arah timur dan melaporkan beberapa tumpuk tulang yang baru—menjadi petunjuk segar bagi teka-teki terbesar dalam sejarah alam. Mahasiswa pascadoktoral Yordania Iyad Zalmout dan mahasiswa pascasarjana Ryan Bebej tengah menggali moncong paus yang mencuat dari sisi tebing. “Kami menduga sisa tubuhnya ada di dalam,” kata Zalmout.
Nenek moyang paus dan semua hewan darat lainnya adalah tetrapoda berkepala pipih, berbentuk seperti salamander yang menyeret tubuhnya keluar dari laut ke pantai berlumpur sekitar 360 juta tahun lampau. Pada keturunannya, paru-paru primitif berangsur-angsur memperbaiki fungsinya, sirip gelambir pun berubah menjadi kaki, dan sendi rahang tersusun agar mampu mendengar di udara, bukan di air. Mamalia lalu menjadi salah satu pencinta daratan yang paling sukses; pada 60 juta tahun yang lalu mamalia telah mendominasi Bumi. Paus termasuk segelintir mamalia yang berevolusi kembali ke laut, merombak pola tubuh daratannya agar dapat mengindra, makan, bergerak, dan kawin di dalam air.
Cara paus menuntaskan transformasi besar seperti itu membuat bingung ilmuwan yang paling genius sekalipun. Karena sadar bahwa teka-teki tersebut merupakan salah satu tantangan besar bagi teorinya tentang evolusi oleh seleksi alam, Charles Darwin mencoba menjelaskan teka-teki paus dalam Origin of Species edisi pertama. Ia mencatat bahwa beruang hitam pernah terlihat berenang di permukaan danau dengan mulut terbuka selama berjam-jam, melahap serangga yang mengapung. “Saya melihat, tidak ada sulitnya ras beruang diubah oleh seleksi alam, sehingga struktur dan kebiasaannya semakin sesuai dengan kehidupan air, dengan mulut yang kian besar,” tulis Darwin menyimpulkan, “sampai terbentuk makhluk sebesar paus.” Namun, para pengkritiknya mengolok-olok gambaran itu dengan lantang dan geli, sehingga pada akhirnya Darwin menghapus bagian tersebut dari edisi-edisi bukunya yang berikut.
Hampir seabad kemudian, ahli paleontologi terkemuka di abad ke-20 George Gaylord Simpson masih juga bingung dalam menentukan letak yang tepat bagi paus dalam pohon evolusi mamalianya yang tertata. “Secara keseluruhan, cetacea adalah mamalia yang paling aneh dan menyimpang,” komentar simpson dengan kesal. “Tidak ada tempat yang tepat bagi mereka dalam scala naturae. Seolah-olah mereka menjauh ke dimensi yang berbeda dengan ordo atau bangsa yang mirip dengannya.”
Adapun para penganut paham antievolusi berpendapat, jika ilmu pengetahuan tidak dapat menjelaskan transformasi paus, mungkin karena transformasi tersebut memang tidak pernah terjadi. Mereka berpendapat bahwa hewan daratan yang mulai beradaptasi dengan kehidupan air akan segera menjadi hewan yang setengah-setengah, tak mampu bertahan hidup di air maupun daratan. Dan jika paus benar-benar pernah menempuh transisi besar ini, di mana bukti fosilnya? “Perbedaan anatomi antara paus dan mamalia daratan begitu besar, sehingga tentunya ada banyak tahap antara di mana makhluk itu pernah mengayuh dan berenang di laut purba sebelum paus seperti yang kita kenal muncul,” tulis para penulis Of Pandas and People, buku teks kreasionis populer yang pertama diterbitkan pada 1989. “Sejauh ini bentuk peralihan ini belum ditemukan.”
Tanpa disasari, Philip Gingerich menerima tantangan tersebut pada pertengahan 1970-an. Setelah meraih gelar Ph.D di Yale, dia memulai penggalian di Daerah Aliran Sungai Clarks Fork di Wyoming untuk mendokumentasikan lonjakan populasi mamalia pada awal kala Eosen, setelah kepunahan dinosaurus sepuluh juta tahun sebelumnya. Pada 1975 dengan harapan dapat melacak migrasi mamalia dari Asia ke Amerika Utara, Gingerich memulai kerja lapangan di daerah formasi fosil Eosen tengah di Provinsi Punjab dan North-West Frontier (sekarang disebut Provinsi Khyber Pakhtunkhwa) Pakistan. Dia kecewa saat menemukan bahwa sedimen berusia 50 juta tahun yang diincarnya bukanlah daratan kering melainkan dasar laut dari tepi timur Samudra Tethys. Ketika timnya menemukan beberapa tulang panggul pada 1977, dengan bercanda mereka menyebutnya dengan “paus berjalan”—gagasan yang tidak masuk akal. Pada saat itu fosil paus yang paling terkenal pun dianggap mirip dengan paus modern, dengan mekanisme yang canggih untuk mendengar di dalam air, ekor kuat dengan sirip lebar, dan tanpa kaki belakang yang keluar dari tubuh.
Lalu pada 1979, seorang anggota tim Gingerich di Pakistan menemukan tengkorak sebesar tengkorak serigala, tetapi memiliki tulang mirip layar yang menonjol—dan sangat tidak mirip serigala—di bagian atas dan samping untuk mendukung otot leher dan rahang yang kuat. Lebih aneh lagi, rongga otaknya sedikit lebih besar dari kenari. Kemudian pada bulan yang sama, Gingerich menemukan beberapa spesimen paus purba dalam sejumlah museum di Lucknow dan Kolkata, India. “Saat itulah rongga otak yang kecil itu mulai masuk akal karena paus awal memiliki tengkorak besar dan otak relatif kecil,” kata Gingerich mengenang. “Aku mulai berpikir bahwa satwa berotak kecil ini mungkin paus yang sangat awal.”
Ketika Gingerich membebaskan tengkorak itu dari bungkusnya yang berupa batu merah nan keras di laboratoriumnya di Michigan, ia menemukan segumpal tulang padat sebesar buah anggur di dasarnya yang disebut bula pendengaran, dengan tulang puncak berbentuk S yang disebut cuaran sigmoid—dua fitur anatomi yang khas pada paus dan membantunya mendengar di dalam air. Namun, tengkorak tersebut tidak memiliki beberapa adaptasi lain yang digunakan paus modern untuk mendengar secara terarah di bawah gelombang. Ia menyimpulkan bahwa binatang tersebut mungkin semiakuatik, menghabiskan waktu cukup lama di perairan dangkal, tetapi kembali ke darat untuk beristirahat dan berbiak.
enemuan paus yang sepanjang diketahui paling primitif tersebut—Gingerich menamainya Pakicetus, membuat Gingerich melihat paus dengan cara baru. “Aku mulai semakin memikirkan transisi lingkungan besar-besaran yang dialami paus,” katanya mengenang. “Makhluk ini berawal sebagai hewan darat dan berubah menjadi hewan air. Sejak itu, aku tenggelam dalam mencari berbagai bentuk transisi pada lompatan besar ini, dari daratan kembali lautani. Aku ingin menemukan semuanya.”
Pada 1980-an Gingerich mengalihkan perhatian ke Wadi Hitan. Bersama istrinya B. Holly Smith yang juga ahli paleontologi dan rekan mereka dari Michigan, William Sanders, dia mulai mencari paus dalam formasi fosil yang berusia sekitar 10 juta tahun lebih muda dari dasar laut tempat dia menemukan Pakicetus. Trio itu menggali kerangka parsial dari paus yang sepenuhnya akuatik seperti Basilosaurus dan Dorudon yang lebih kecil, panjangnya lima meter. Kedua jenis tersebut punya bula pendengaran yang besar dan adaptasi lain untuk pendengaran bawah air; tubuh panjang dan strimlain dengan tulang punggung yang panjang; juga ekor berotot untuk menggerakkan tubuh di air dengan ayunan vertikal yang kuat. Kawasan itu penuh dengan tengkorak kedua jenis paus itu. “Setelah berada di Wadi Hitan sebentar saja, orang tentu merasa melihat paus di mana-mana,” kata Smith. “Dan tak lama setelahnya, orang menyadari bahwa memang begitu adanya. Kami segera memahami bahwa kami tidak mungkin mampu mengumpulkan semuanya, jadi kami mulai memetakannya dan hanya menggali spesimen-spesimen yang paling menjanjikan.”
Namun demikian, baru pada 1989 tim tersebut menemukan mata rantai yang mereka cari untuk menghubungkan paus ke nenek-moyang daratannya, penemuan yang hampir tak sengaja. Menjelang akhir ekspedisi, Gingerich sedang menggarap kerangka Basilosaurus ketika menemukan lutut paus—yang pertama diketemukan dan diketahui—pada kaki yang terletak di tulang punggung binatang itu pada posisi yang jauh lebih ke bawah daripada yang ia duga. Karena kini para peneliti sudah tahu letak kaki itu, mereka memeriksa lagi sejumlah paus yang “sudah dipetakan” dan segera menemukan tulang paha, tulang kering, dan tulang betis, serta benjolan tulang yang membentuk kaki dan pergelangan kaki paus. Pada hari terakhir ekspedisi, Smith menemukan satu set lengkap jari kaki nan ramping sepanjang 2,5 sentimeter. Melihat tulang-tulang kecil membuat air matanya berlinang. “Mengetahui bahwa hewan air yang begitu besar itu masih memiliki tungkai, kaki, dan jari kaki yang berfungsi, menyadari apa makna hal ini bagi evolusi paus—itu luar biasa,” ia mengenang.
Meskipun tak mampu menopang bobot tubuh Basilosaurus di darat, kaki-kaki itu masih ada fungsinya. Kaki itu dapat ditempeli otot yang kuat, juga memiliki sendi pergelangan yang berfungsi dan mekanisme penguncian yang rumit di lutut. Gingerich berspekulasi bahwa kaki paus berperan sebagai perangsang atau pemandu saat kopulasi. “Pasti sulit mengendalikan apa yang terjadi di bawah, pada tubuh panjang mirip ular itu, begitu jauh dari otak,” katanya.
Apa pun kegunaan kaki kecil itu bagi Basilosaurus, penemuannya menegaskan bahwa leluhur paus pernah berjalan, berjingkik, dan berlari di darat. Namun, identitas leluhur tersebut tetap belum jelas. Beberapa fitur kerangka paus purba, terutama gigi pipinya yang besar dan berbentuk segi tiga tampak sangat mirip dengan gigi mesonychia, sekelompok karnivora berkuku dari kala Eosen. (Andrewsarchus yang besar dan mirip dubuk, yang mungkin mamalia karnivora terbesar yang pernah hidup di darat, mungkin termasuk golongan mesonychia.) Pada 1950-an para ahli imunologi menemukan ciri-ciri pada darah paus yang menyiratkan bahwa paus adalah keturunan artiodaktil, yaitu ordo mamalia yang mencakup babi, rusa, unta, dan binatang berkuku genap lainnya. Pada 1990-an para ahli biologi molekuler yang mempelajari kode genetis cetacea telah menyimpulkan bahwa kerabat modern yang paling dekat dengan paus adalah satu binatang ungulate tertentu, yaitu kuda nil.
Gingerich dan banyak ahli paleontologi lainnya lebih yakin pada bukti nyata di tulang daripada perbandingan molekul satwa modern. Mereka percaya paus adalah keturunan mesonychia. Namun untuk menguji teori tersebut, Gingerich perlu menemukan satu tulang tertentu. Tulang pergelangan kaki atau astragalus adalah unsur paling khas pada kerangka artiodaktil karena berbentuk katrol-ganda yang tidak lazim dengan galur yang jelas di bagian atas dan bawah tulang, seperti galur pada roda katrol yang menyangga tali. Dengan bentuk seperti itu, artiodaktil memiliki daya pegas dan kelenturan yang lebih besar daripada bentuk katrol tunggal yang ditemukan pada satwa berkaki empat lainnya (paus modern tentu saja tidak membantu karena sama sekali tidak punya tulang pergelangan kaki).
Kembali ke Pakistan pada 2000, Gingerich akhirnya melihat pergelangan kaki paus untuk pertama kalinya. Mahasiswa pascasarjana di timnya Iyad Zalmout menemukan sebuah tulang bergalur di tengah sisa-sisa seekor paus berumur 47 juta tahun yang baru ditemukan, yang kemudian dinamai Artiocetus. Beberapa menit kemudian ahli geologi Pakistan Munir ul-Haq menemukan tulang yang serupa di situs yang sama. Pada mulanya Gingerich mengira kedua tulang itu adalah astragalus katrol tunggal dari kaki kanan dan kiri si paus—bukti bahwa dia benar tentang asal-usul paus. Namun ketika tulang itu dipegangnya berdampingan, dia bingung karena bentuknya sedikit asimetris. Saat ia merenungkan hal itu sambil memutar-mutar kedua tulang itu ibarat pemain teka-teki memosisikan dua keping teka-teki yang bermasalah, tiba-tiba kedua tulang itu terpasang dengan cocok, membentuk astragalus katrol ganda yang sempurna. Ternyata para ilmuwan laboratorium memang benar.
Sambil berjalan kembali ke perkemahan malam itu, Gingerich dan timnya melewati sekelompok anak desa yang bermain dadu dengan astragalus kambing. (Sudah beribu-ribu tahun orang di berbagai budaya menggunakan tulang pergelangan kaki artiodaktil domestik dalam permainan dan ilmu ramal.) Zalmout meminjam satu dan memberikannya kepada Gingerich, lalu menyaksikan dengan geli sementara profesornya itu menghabiskan sisa malam itu menatap pergelangan kaki paus di satu tangan dan pergelangan kaki kambing di tangan lain secara bergantian, memperhatikan kemiripan yang tak bisa disangkal. “Itu temuan besar, tetapi pemikiran saya jadi dijungkirbalikkan,” kata Gingerich sambil tersenyum kecut. “Namun, kini kita tahu pasti dari mana asal-usul paus dan bahwa teori kuda nil tidak seluruhnya khayalan belaka.”
Sejak itu Gingerich dan sejumlah ahli paleontologi yang lain melengkapi kisah paus awal itu, gigi demi gigi, jari kaki demi jari kaki. Gingerich yakin bahwa cetacea pertama mungkin mirip antrakoteres, binatang perambah ramping mirip kuda nil yang menghuni dataran rendah berawa-rawa pada kala Eosen. (Ada teori alternatif yang diajukan ahli paleontologi Hans Thewissen, yaitu paus adalah keturunan dari hewan yang mirip dengan Indohyus, yaitu artiodaktil prasejarah yang mirip rusa, sebesar rakun yang hidup sebagian di air.) Apa pun bentuk dan ukurannya, paus paling awal muncul sekitar 55 juta tahun lalu, seperti semua ordo mamalia modern yang lain, selama lonjakan suhu dunia pada awal kala Eosen. Berbagai mamalia itu tinggal di sepanjang pantai timur Samudra Tethys yang perairannya memiliki daya tarik evolusi yang kuat: hangat, asin, kaya kehidupan laut, bebas dari dinosaurus air yang telah punah sepuluh juta tahun lebih dulu. Dengan masuk ke perairan semakin dalam untuk mengejar berbagai jenis sumber makanan baru, para perandai awal ini perlahan berkembang dengan moncong lebih panjang dan gigi lebih tajam yang lebih cocok untuk menyambar ikan. Pada 50 juta tahun lalu, mereka telah mencapai tahap yang dicontohkan oleh Pakicetus: perenang berkaki empat yang mahir, yang masih berkeliaran di daratan.
Lewat adaptasi dengan air, paus awal memperoleh akses ke lingkungan yang tak terjangkau oleh sebagian besar mamalia lain, lingkungan yang kaya pakan dan tempat tinggal, serta sedikit pesaing dan pemangsa—kondisi yang sempurna untuk ledakan evolusi. Yang terjadi selanjutnya adalah ledakan berbagai eksperimen aneh untuk menjadi paus, yang sebagian besar berakhir pada kepunahan jauh sebelum zaman modern. Ada Ambulocetus raksasa seberat 725 kilogram, pemburu penyergap dengan kaki pendek dan rahang pelahap raksasa yang mirip buaya air asin yang berbulu; Dalanistes, dengan leher jenjang dan kepala seperti burung bangau; dan Makaracetus yang berbelalai pendek, melengkung, dan berotot, yang mungkin digunakan untuk makan moluska.
Sekitar 45 juta tahun lalu, lingkungan air yang menguntungkan akhirnya menarik paus semakin jauh ke laut, lehernya menjadi mampat dan kaku agar dapat menyeruak di air dengan lebih efisien, sementara wajah memanjang dan menajam seperti haluan kapal. Kaki belakang menebal menjadi piston; kuku merenggang dan memiliki selaput sehingga mirip kaki bebek raksasa dengan ujung berupa kuku kecil yang diwarisi dari leluhur binatang berkaki. Metode berenangnya pun semakin baik:?Ekor yang tebal dan kuat berkembang pada sebagian paus yang melesat maju dengan gerakan tubuh mengombak naik-turun dengan kuat. Tekanan seleksi alam untuk gaya gerak yang efisien tersebut lebih cocok bagi tulang punggung yang lebih panjang dan lentur. Hidung meluncur mundur dari moncong ke arah ubun-ubun kepala, menjadi lubang sembur. Seiring waktu, seiring dengan kemampuan paus menyelam lebih dalam, mata pun mulai berpindah dari atas ke sisi kepala agar dapat lebih baik melihat dalam air secara lateral. Telinga paus juga semakin peka terhadap suara di bawah air, dibantu oleh bantalan lemak yang mengalir di saluran di sepanjang rahang, guna mengumpulkan getaran bagai antena bawah air dan menyalurkannya ke telinga bagian tengah.
Meski sudah sesuai dengan air, paus berumur 45 juta tahun itu masih harus terseok-seok ke pantai dengan jari dan kaki berselaputnya, mencari air tawar untuk minum, untuk kawin, atau tempat yang aman untuk beranak. Namun dalam tempo beberapa juta tahun, paus tidak dapat berbalik lagi: Basilosaurus, Dorudon, dan kerabat-kerabatnya tak pernah menginjakkan kaki di darat, berenang dengan mantap di laut lepas dan bahkan menyeberangi Samudra Atlantik sampai ke pesisir yang kini menjadi Peru dan Amerika Serikat selatan. Tubuh satwa-satwa itu sudah sepenuhnya beradaptasi dengan gaya hidup di air, kaki depan memendek dan menjadi kaku sehingga menjadi sirip untuk meluncur, ekor melebar di ujungnya menjadi candit horizontal dan membentuk hidrofoil. Panggul terpisahkan dengan tulang belakang, sehingga ekor memiliki kisaran gerakan vertikal yang lebih luas. Namun, bagaikan jimat dari kehidupan darat yang sudah lama terlupakan, kaki belakangnya tetap ada, lengkap dengan lutut, telapak kaki, pergelangan kaki, dan jari yang semuanya mungil, yang tidak lagi berguna untuk berjalan tetapi mungkin bermanfaat untuk kawin.
Transisi terakhir dari Basilosaurus ke paus modern dimulai 34 juta tahun lalu, pada fase iklim dingin yang mendadak, yang mengakhiri kala Eosen. Penurunan suhu air di dekat kedua kutub bumi, pergeseran arus laut, dan pembalikan massa air laut yang kaya gizi di sepanjang pantai barat Afrika dan Eropa menarik paus ke dalam ceruk lingkungan yang benar-benar baru dan memacu adaptasi yang lain—otak besar, ekolokasi, lemak penyekat, dan pada beberapa spesies, tulang penyaring alih-alih gigi untuk meregangkan krill—yang ada pada cetacea zaman sekarang.
Terutama berkat Philip Gingerich, catatan fosil paus kini menyajikan salah satu peragaan evolusi Darwin yang paling menakjubkan, bukan menentangnya. Ironis, Gingerich sendiri tumbuh dalam lingkungan Kristen yang berprinsip tegas, dalam keluarga Mennonite Amish di Iowa timur. (Kakeknya petani dan pengkhotbah awam.) Namun, pada saat itu, ia tidak merasa bahwa agama dan sains bertentangan. “Kakekku berpikiran terbuka tentang umur bumi,” katanya, “dan tidak pernah menyebut-nyebut evolusi. Jangan lupa, orang-orang ini sangat rendah hati, hanya mengungkapkan pendapat tentang hal-hal yang mereka kuasai.”
Gingerich masih heran bahwa banyak orang masih merasa bahwa agama dan sains bertentangan. Pada malam terakhir saya di Wadi Hitan, kami berjalan agak jauh dari perkemahan di bawah kubah bintang yang cemerlang. “Mungkin aku memang tidak pernah terlalu taat beragama,” katanya. “Tetapi, aku menganggap pekerjaanku sangat spiritual. Bayangkanlah paus-paus itu berenang di sekitar ini, bagaimana mereka hidup dan mati, bagaimana dunia telah berubah—semua ini membuatku merasa menyentuh sesuatu yang jauh lebih besar dari diriku sendiri, komunitasku, atau keberadaanku sehari-hari.” Dia membentangkan kedua tangannya, menyertakan cakrawala yang gelap dan gurun pasir serta batu pasir yang terukir angin dan paus bisu yang tak terhitung jumlahnya. “Di sini ada tempat untuk agama sebanyak yang kauinginkan.”
sumber: http://nationalgeographic.co.id/featurepage/164/lembah