Peneliti dari McGill University melakukan riset yang mengamati pengaruh sistem GPS terhadap otak manusia. Ternyata, pengguna yang keranjingan GPS memiliki risiko menderita masalah dengan daya ingat dan orientasi ruang.
Veronique Bohbot, seorang associate professor di Douglas Mental Health University dan McGill University, beserta sejumlah peneliti dari McGill menemukan bahwa mereka yang sering memakai GPS untuk menunjukkan arah berpotensi mengalami kerusakan di kawasan otak yang mengontrol daya ingat.
Otak manusia umumnya melakukan navigasi menggunakan dua metode. Pertama, adalah strategi navigasi spasial di mana bangunan atau tanda tertentu dimanfaatkan otak untuk membantu kita mengetahui arah ataupun di mana kita berada.
Kedua, adalah strategi respon terhadap stimulus di mana kita seolah berkendara dalam modus ‘auto-pilot’ yang dapat membuat kita berbelok di tempat-tempat tertentu. Modus ‘auto-pilot’ ini dimungkinkan karena pengulangan-pengulangan yang kita lakukan disimpan oleh tubuh yang kemudian akan otomatis menyatakan belokan tersebut merupakan jalan terbaik yang akan mengantarkan kita ke tujuan. Strategi kedua lebih erat hubungannya dengan bagaimana cara pengguna GPS melakukan navigasi.
Saat functional Magnetik Resonance Imaging atau fMRI melakukan tugasnya dalam melakukan navigasi menggunakan kedua metode yang dimiliki otak, orang yang biasa menggunakan strategi navigasi spasial mengalami peningkatan aktivitas di kawasan otak yang berhubungan dengan daya ingat dan navigasi, yang disebut dengan hippocampus.
Peneliti McGill menemukan bahwa penggunaan GPS secara berlebihan akan menghentikan perkembangan hippocampus sejalan dengan bertambahnya usia. Ini meningkatkan risiko munculnya masalah kognitif seperti Alzheimer di usia lanjut.
Sebagai informasi, Alzheimer mempengaruhi hippocampus lebih dulu sebelum menyerang bagian otak lainnya yang mengakibatkan kerusakan daya ingat dan disorientasi. Hasil penelitian ini tidak mendorong orang untuk membuang GPS yang ia miliki. Akan tetapi, pengguna disarankan sebaiknya tidak selalu bergantung pada alat penunjuk arah tersebut.
“Kita hidup di komunitas dengan mobilitas sangat tinggi yang membuat kita sangat menyesal jika kita tersasar,” kata Bohbot. “Yang ingin saya katakan adalah kita bisa menggunakan GPS untuk mengeksplorasi tempat-tempat baru, tetapi jangan menjadi ketergantungan. Menggunakan peta kognitif otak mungkin membutuhkan waktu, akan tetapi hasilnya cukup sepadan,” ucap Bohbot, seperti dikutip dari DailyTech, 19 November 2010.
Sumber: vivanews.com